Pelarian


Entah sudah bulan keberapa pandemi ini berjalan, banyak yang menyadari tahun 2020 merupakan tahun yang banyak cobaan. Banyak nyawa berguguran banyak hal yang harus dikorbankan dan banyak pula yang sulit dimengerti.
Saat saya mengetik ini, kalender menunjukkan tanggal 29 di Bulan Oktober, hmm sudah akhir bulan saja sebentar lagi akhir tahun ya?

Selain keadaan kesehatan yang tidak baik baik saja. Saat ini Indonesia juga tak baik baik saja banyak masalah bermunculan, salah satunya yang sekarang masih dihadapi masalah omnibuslaw yang membawa rentetan masalah lain dibelakangnya. Banyak air mata rakyat yang jatuh sebab ketidakadilan, demokrasi semakin banyak 'tapi' nya, yang berpendapat malah dibungkam. Semua emosi sedih sudah menutupi rakyat Indonesia saat ini, Saya menyadari tidak bisa terlalu dalam membahas mengenai ini, terlalu berat.

Setelah berbulan bulan aktivitas sehari hari yang terbatas, sekarang teman setia saya adalah smarthphone dan teknologi yang ada, seharian berkutat dengan HP sudah jadi kebiasaan, jujur saya merasa rasa malas semakin menggerogoti tubuh saya, tapi saya tahu keadaan sedang buruk-buruknya, tidak hanya masalah diatas, masalah lainpun mengikuti. Hingga akhirnya bukan hanya fisik yang terganggu kesehatan mental masyarakat di masa pandemi ini juga semakin campur aduk. Tidak sedikit orang-orang yang kulihat di sosial media maupun yang bertemu langsung mengalami masa yang buruk dalam menjalani kehidupannya dan itu juga terjadi kepadaku beserta teman temanku.

Depresi, stress berat, emosi tak terkontrol bahkan keinginan untuk bunuh diri seperti jadi teman di masyarakat sekarang khususnya para remaja dan usia menginjak dewasa, diakibatkan banyak keinginan yang kadang tak sesuai ekspektasi, merasa sendiri, putus asa, maupun akibat trauma masa lalu. Keterbatasan antar satu individu dengan individu lain untuk bertemu dan akhirnya menghambat interaksi, menjadi salah satu pemicu.

Terkadang seseorang hanya butuh pendengar saat dia merasa down, hanya perlu diberikan pundak saat perlu bersandar dan meyakinkannya bahwa ini semua akan berlalu.

Saya ketakutan manakala saya tau banyak teman yang menyimpan lukanya sendiri, saya mencoba memahami, tidak mudah menaruh kepercayaan terhadap seseorang, terlebih masalah pribadi.

Dibalik itu saya lambat laun mulai memahami dari pantauan saya yang amat minim mungkin hanya melalui status di sosial media, ekspresi orang tersebut saat bertemu saya atau saat orang hanya sekedar lewat didepan saya. Kita sama sama bermanipulasi dengan kata BAIK BAIK SAJA walau pada kenyataannya banyak luka yang menganga.

Saya tidak tahu ada berapa banyak air mata yang mengalir saat kita sendiri saat kita merenung diruangan gelap, tempat dimana seolah disanalah diri kita sebenarnya, tanpa topeng senyum yang kita pasang setiap harinya.

Entah sudah berapa kalimat serapah yang sebenarnya ingin diungkapkan namun terbungkam. Berapa banyak luka masa lalu yang belum sembuh namun terus bertambah akibat tidak mengertinya orang lain tethadap kita.

Aku, kamu dan kita sama sama diam, tidak saling jujur bahwa kita hancur. Kita sama berlagak kuat bahwa kita masih mampu. Kita ada dalam lingkup gengsi dan ego kita masing masing, namuun pada kenyataannya kita sama sama ingin dimengerti.

Saat orang lain tidak tahu hancurnya kita, kemudian orang terdekat meninggalkan kita, entah mana yang harus disalahkan.

Dari awal kita yang ingin memendam luka. Tapi dari awal pula tidak ada yang mengerti kita.

Saya hanya takut kita sampai pada titik merasa perjuangan ini cukup dan masing masing dari kita memilih pergi. Alurnya memang berhenti tapi ceritanya terus berlanjut.

Akan ada yang tersakiti, akan ada pihak yang mengalah dan ada pihak yang serba salah. Lalu harus bagaimana semua ini??

Saya menulis semua ini karena menulis adalah pelarian saya disaat semua dirasa tak ada yang memahaminya. Saya merasa bebas saat menulis. Saya jadi teringat sebuah kalimat yang mengatakan yang paling kita cari sebenarnya bukan kebahagiaan tapi Ketenangan. Mungkin itu yang saya rasakan saat menulis. Saya tenang karena ini tulisan saya, saya bebas berekspresi. Saya merasa diri saya ada, berbeda ketika harus bicara, saya sadar terlalu sering memikirkan apa kata orang lain, saya takut setiap berbicara, tapi saya memiliki keberanian itu kembali saat saya menulis hingga kini.

Pikiran saya terlalu abstrak, untuk menyampaikan sesuatu yang terkonsep lewat bicara dan akhirnya saya memilih menulis.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Us Apa Kabar?

Kehidupan Menginjak Dewasa

Nasgor Cendana.